RINGKASAN BAB KEDUA L’UOMO SENZA CONTENUTO DARI GIORGIO AGAMBEN
Pertanyaan awal yang diajukan dalam bab ini adalah dengan cara apa kita dapat mengetahui seberapa kuat daya tahan manusia berhadapan dengan teror seni? Merujuk pada karya Paulhan, Fleurs de Tarbes, Agamben mencontohkan teror seni melalui ambiguitas bahasa (l’ambiguità fondamentale del linguaggio). Di satu sisi, ada tanda-tanda yang bergantung pada makna-makna dan di sisi lain, terdapat tanda-tanda yang berasosiasi dengan ide-ide. Dari ambiguitas tersebut Paul Kita lantas patut bertanya: Apakah ide-ide dari suatu pikiran terceraikan dan mandiri dari alam? Mereka mungkin dikatakan mandiri kalau murni hasil kontruksi pemikirnya. Namun ide dikatakan terkait dengan alam kalau ia tidak bisa lepas dari tanda-tanda hasil persepsi inderawi atas alam.
Dari ambiguitas tersebut Paulhan lantas membuat pembedaan antara para penulis berserta ahli retorika dan «para Teroris». Kelompok pertama adalah mereka yang mengarahkan semua makna suatu tulisan ke dalam suatu bentuk (forma) dan dari situ dibentuklah satu hukum tunggal bagi karya sastra. Sedangkan kelompok kedua menolak tunduk pada dan ingin menentang aturan tersebut. Bahasa di sini tidak mengandung apa pun selain hanya makna dari suatu pemikiran. Bagi para teroris, tanda-tanda tidak harus berasosiasi dengan obyek-obyek alamiah sebab yang terpenting adalah kemampuannya untuk menyampaikan ide. Para ahli retorika sebaliknya tampak mewaspadai tendensi para teroris dengan mengingatkan, bahwa nyala api pemikiran bisa membakar habis tanda-tanda dan membuat pemikirnya tak sadarkan diri.
Dalam alam pikiran Yunani Klasik, forma pikiran bukan hanya mandiri dari materi suatu benda alamiah tetapi bisa mengubahnya. Konsep alegori dalam tradisi Yunani, misalnya, adalah bukti bahwa karya seni mampu menyampaikan sesuatu yang lain daripada materinya. Karena campur tangan manusia, suatu benda bisa melepaskan diri dari forma alamiahnya. Hal ini tentu berbeda dengan benda-benda alamiah, seperti setetes air atau sebalok kayu, yang materinya menentukan forma alamiahnya. Namun begitu obyek alamiah itu ditangani secara teknis oleh manusia, forma pikiran manusia berbalik menentukan materi. Misalnya: vas, tembikar, cangkul, dsb.
Berbeda dari orang-orang Yunani, angan-angan seorang Teroris, bagi Agamben, adalah menciptakan suatu karya seni yang keberadaannya berdasarkan status dari hal-hal alamiah. Mahakarya itu bengong dan memiliki ketenangan layaknya segala hal yang dihasilkan alam, seperti binatang-binatang besar dan gunung-gemunung (Flaubert). Ia menampilkan dirinya sealamiah mungkin. Sosok fiktif pelukis Frenhofer dalam buku karya Balzac, Mahakarya yang Tak Dikenal [Le Chef-d’Oeuvre inconnu], adalah contoh teroris yang sempurna. Ia berupaya menemukan di atas kanvasnya bukan sekedar karya seni, juga bukan kumpulan tanda-tanda, dan juga bukan paduan warna-warni. Yang ia cari adalah kenyataan yang hidup dari pemikirannya dan imajinasinya, seperti dikatakan Frenhofer sendiri: «Lukisanku bukanlah suatu lukisan, tetapi suatu perasaan, suatu gejolak! Dilahirkan dalam studioku ia tetaplah perawan di hadapan kalian dan tidak akan keluar dari sini tanpa suatu selubung… Kalian sedang di hadapan seorang perempuan, tetapi malah mencari suatu lukisan. Ada banyak kedalaman dari kanvas ini, seninya begitu sejati, sehingga tidak mampu kalian membedakannya dengan udara yang mengitarinya. Di manakah seni? Hilang, lenyap!» (Agamben, 20).
Dalam lukisan Frenhofer tersebut, terdapat tumpang-tindih warna yang membingungkan dan tumpukan garis-garis yang sukar diuraikan, kecuali tersisa ujung kaki yang berada di luar bidang kanvas. Setiap makna sudah larut dengan sendirinya, setiap isi lenyap. Pencarian akan suatu makna mutlak (un significato assoluto) dalam karya seni justru melahap setiap makna (ogni significato) demi mempertahankan tanda-tanda untuk bertahan hidup. Yang tersisa hanyalah forma tanpa isi (makna).
Tidak puas di situ, Agamben mengajukan pertanyaan kritis: Bukankah Mahakarya yang tak dikenal itu sendiri adalah mahakarya dari retorika? Apakah makna (isi) yang telah mengenyahkan tanda (forma) atau sebaliknya? Jawabannya tidak bisa disederhanakan dengan sekedar menjadikan yang satu sebagai penyebab dan yang lain sebagai akibat. Keduanya saling mengandaikan dan saling meniadakan. Inilah yang di sebut paradoks dari teror seni dan «Sang Teroris» sedang menghadapinya. Hanya melalui forma, sang Teroris bisa keluar dari rutinitas dunia forma-forma yang berubah-ubah. Semakin besar keinginannya untuk mengenyahkan forma, semakin serius juga ia harus memfokuskan diri padanya, sehingga forma-forma dapat ditembus dengan ide-ide yang selama ini sukar ia ungkapkan. Dengan keluar dari Retorika, ia justru dibawa kepada Teror itu sendiri. Dengan memasuki Teror, ia justru dibawa kembali pada Retorika. Ini adalah lingkaran setan yang dialami «Sang teroris».
Hubungan kompleks antara penanda dan yang-ditandai ini, yang dalam ranah metafisika disebut sebagai suara yang bermakna, adalah bagian tak terpisahkan dari warisan bahasa kita. Bahasa mengandaikan metafisika tertentu. Karena itu, setiap upaya untuk melampaui bahasa tanpa melepaskan diri dari batasan-batasan metafisika pasti akan gagal. Namun benarkah bahasa dan seni tidak pernah luput dari metafisika? Agamben memprovokasi kita untuk meluputkan diri dari perangkap metafisis dengan melihat kemungkinan lain yang terkandung dari nasib paradoksal antara Teror dan retorika; makna dan tanpa-makna; literatur yang berceloteh dan keheningan. Melihat nasib karya seni secara paradoksal sama artinya dengan mencandra hidup kita yang pada satu sudut pandang terlihat utuh, tetapi dari sudut pandang lain, menyimpan berbagai macam pertentangan. Ini seperti hubungan paradoksal antara kemungkinan dan aktualitas dalam satu kenyataan; seolah-olah terpisah tetapi tetap satu utuh juga.
Kondisi paradoksal ini juga mendera eksistensi manusia. Dan Frenhofer adalah sosok manusia paradoks yang menggandakan dirinya sendiri (si è sdoppiato): «Dia telah melangkah dari sudut pandang seniman ke sudut pandang pengamat, dari kepentingan untuk mengalami kebahagiaan kepada estetika tanpa kepentingan. Dalam perpindahan tersebut, keutuhan karya seninya tercerai berai» (Agamben, 23). Dan bukan hanya dirinya saja yang berangkap dua, melainkan juga karyanya: «Sisi yang terarah pada seniman adalah kenyataan yang hidup, yang di dalamnya ia membaca janji akan kebahagiaan; tetapi sisi lain yang terarah pada pengamat, adalah suatu kumpulan unsur-unsur tanpa hidup, yang hanya mampu mencerminkan dirinya sendiri dalam gambaran yang ditentukan oleh penilaian estetis» (Agamben, 23). Paradoks rangkap dua antara «seni yang dihayati pengamat» dan «seni yang dihayati seniman» persis merupakan Teror yang membayangi sejarah Seni dan eksistensi kita sebagai manusia. Namun justru dari dua oposisi itulah kita dibawa kembali kepada awal dari sejarah seni dan peradaban manusia. «Estetika», dengan demikian menurut Agamben, « bukan sekedar penilaian atas karya seni berdasarkan persepsi inderawi dari pengamat, tetapi sejak awal kemunculannya merupakan suatu penelaahan karya seni sebagai opus dari pekerjaan yang khas dan tidak dapat direduksi». (Agamben, 24). Sejarah seni berisikan kontradiksi yang menghidupkan, paradoks yang menggerakkan, dan oposisi yang mengandung berbagai kemungkinan.
Akhirnya sampai di sini, kita bisa mulai merumuskan dengan tepat pertanyaan yang diarahkan pada pernyataan Nietzsche tentang «suatu seni bagi para seniman». Ia jelas ingin berbicara tentang 1) adanya perubahan status esensial karya seni dari perspektif tradisional dan 2) dengan berada dalam perubahan tersebut, kita bisa mengetahui alasan di balik nasib karya seni saat ini. Marilah kita perdalam lebih lagi di bab selanjutnya.